Bagi teman2 kelompok schizophrenia
(Terjemahan dr New York Times)
----------------------------------------
TIGA tahun yang lalu, saya diberi diagnosis skizofrenia. Prognosis saya "buruk": Saya tidak akan pernah hidup mandiri, tidak akan memiliki pekerjaan, menemukan pasangan yang penuh kasih, menikah. Rumah saya adalah rumah sakit, hari-hari saya akan dihabiskan untuk menonton TV di ruang bersama orang-orang yang tak berdaya karena penyakit jiwa. Saya akan melakukan pekerjaan kasar ketika gejala saya tenang. Setelah rawat inap psikiatri terakhir di usia 28, saya didorong oleh dokter untuk bekerja sebagai kasir di tempat menukar uang. Jika saya bisa mengatasinya, katanya, mereka akan menilai kembali kemampuan saya untuk memegang posisi yang lebih tinggi, mungkin bahkan kerja penuh waktu.
Lalu saya mengambil keputusan. Saya akan menulis riwayat hidup saya. Hari ini saya seorang profesor di Fakultas Hukum Gould, Universitas Southern California. Saya memiliki pekerjaan tambahan di departemen psikiatri di sekolah kedokteran Universitas California, San Diego, dan mengajar di Pusat Baru untuk Psikoanalisis. Yayasan MacArthur memberi saya
hibah bagi genius.
Meskipun saya berjuang melawan diagnosis saya selama bertahun-tahun, akhirnya saya menerima bahwa saya menderita skizofrenia dan akan menjalani perawatan seumur hidup. Sesungguhnyalah, pengobatan psikoanalitik yang sangat baik dan obat-obatan sangat penting untuk kesuksesan saya. Yang saya tolak adalah prognosis saya.
Pemikiran psikiatri konvensional dan kategori diagnostiknya mengatakan bahwa orang seperti saya ini tidak ada. Yg mungkin adalah saya tidak memiliki skizofrenia (tolong katakan itu pada khayalan waham yang memenuhi pikiran saya), atau saya tidak akan bisa mencapai apa yang saya miliki (tolong katakan itu kepada komite USC urusan pengajaran).Tapi saya bisa dan telah mencapainya. Dan saya telah melakukan penelitian dengan rekan di USC dan UCLA untuk menunjukkan bahwa saya tidak sendiri. Ada orang lain dengan skizofrenia dan gejala aktif seperti delusi dan halusinasi yang memiliki prestasi akademik dan profesional yang cukup bermakna.
Selama beberapa tahun terakhir, rekan-rekan saya, termasuk Stephen Marder, Alison Hamilton dan Amy Cohen, dan saya telah mengumpulkan 20 subjek penelitian dengan skizofrenia yang berfungsi-tinggi di Los Angeles. Mereka menderita gejala seperti delusi ringan atau perilaku halusinasi. Usia rata-rata mereka adalah 40. Setengahnya laki-laki, setengah perempuan, dan lebih dari separuh adalah minoritas. Semua memiliki ijazah SMA, dan mayoritas telah selesai atau sedang berusaha mendapat ijazah perguruan tinggi. Mereka dapat berupa mahasiswa pascasarjana, manajer, teknisi dan profesional, termasuk seorang dokter, pengacara, psikolog dan kepala eksekutif dari kelompok nirlaba.
Pada saat yang sama, kebanyakan dr mereka tidak menikah dan tidak memiliki anak, yang konsisten dengan diagnosis mereka. (Rekan-rekan saya dan saya berniat untuk melakukan penelitian lain tentang orang-orang dengan skizofrenia yang berfungsi-tinggi dalam hal hubungan (pasangan) mereka. Menikah di usia pertengahan 40an -- hal terbaik yang pernah terjadi pada saya -- bertentangan dengan semua dugaan, setelah hampir 18 tahun tidak berkencan.) Lebih dari tiga perempat telah dirawat di rumah sakit antara dua dan lima kali karena penyakit mereka, sementara tiga tidak pernah dirawat.
Bagaimana orang-orang dengan skizofrenia ini berhasil dalam studi mereka dan pada pekerjaan tingkat tinggi seperti itu? Kami mengetahui bahwa, di samping pengobatan dan terapi, semua peserta telah mengembangkan teknik untuk mempertahankan skizofrenianya terkendali. Pd beberapa orang, teknik ini bersifat kognitif. Seorang pendidik dengan gelar master mengatakan dia belajar menghadapi halusinasinya dan bertanya, “Apa buktinya? Atau itu hanya masalah persepsi?" Peserta lain berkata, "Saya mendengar suara-suara menghina sepanjang waktu. ... Kamu cuma perlu mengusirnya. "
Salah satu cara utk mengawasi gejala adalah "mengidentifikasi pemicu" untuk "mencegah gejala yang lebih luas," kata seorang peserta yang bekerja sebagai koordinator di sebuah kelompok nirlaba. Misalnya, jika terlalu lama berdekatan dengan orang2 dapat memicu gejala, usahakan waktu sendirian ketika Anda bepergian dengan teman-teman.
Teknik lain yang diajukan oleh peserta termasuk mengendalikan masukan sensorik. Untuk beberapa orang, ini berarti mengusahakan ruang hidup yg sederhana (dinding kosong, tidak ada TV, hanya musik yang tenang), sementara bagi yang lain, itu berarti musik yang mengganggu. "Saya akan mendengarkan musik keras jika saya tidak ingin mendengar sesuatu," kata seorang peserta yang bekerja sbg asisten perawat bersertifikat. Yang lain lagi menyebutkan olahraga, diet sehat, menghindari alkohol dan cukup tidur. Kepercayaan pada Tuhan dan doa juga memainkan peran bagi sebagian orang.
Salah satu teknik yang paling sering disebutkan yang membantu peserta penelitian kami mengelola gejala adalah bekerja. "Pekerjaan menjadi bagian penting dari diri saya," kata seorang pendidik dalam kelompok kami. “Ketika Anda berguna untuk sebuah organisasi dan merasa dihormati dalam organisasi itu, ada nilai tertentu menjadi anggotanya.” Orang ini juga bekerja pada akhir pekan sebagai "pengalih perhatian.” Dengan kata lain, dengan terlibat dalam pekerjaan, hal-hal yg gila itu sering mereda.
Secara pribadi, saya menghubungi dokter, teman, dan keluarga saya setiap kali saya mulai tergelincir, dan mendapat dukungan dari mereka. Saya makan makanan yang menenangkan (bagi saya, sereal) dan mendengarkan musik yang tenang. Saya meminimalkan semua stimulasi. Biasanya teknik-teknik ini, dikombinasikan dengan tambahan obat dan terapi, akan membuat gejala-gejala berlalu. Tetapi yg terpenting -- menggunakan pikiran saya -- adalah pertahanan terbaik saya. Itu membuat saya tetap fokus, membuat iblis menyingkir. Pikiran saya, dapat saya katakan, adalah musuh terburuk saya dan sahabat baik saya.
Itulah mengapa sangat menyedihkan kalau dokter memberitahu pasien untuk tidak mengharapkan atau mengejar karier yang memuaskan.Terlalu sering, pendekatan psikiatri konvensional terhadap penyakit jiwa adalah melihat kumpulan gejala yang menjadi ciri orang. Oleh karena itu, banyak psikiater berpendapat bahwa mengobati gejala dengan obat adalah cara mengobati gangguan jiwa. Tetapi ini tidak memperhitungkan kekuatan dan kemampuan individu, yg menyebabkan para profesional kesehatan jiwa meremehkan apa yang dapat diharapkan oleh pasien untuk dicapai di dunia.
Ini bukan hanya skizofrenia: awal bulan ini, The Journal of Child Psychology dan Psychiatry memuat sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa sekelompok kecil orang yang diberi diagnosis autisme, gangguan perkembangan, kemudian berhenti menunjukkan gejala. Mereka
tampaknya bisa pulih -- setelah bertahun-tahun menjalani terapi dan pengobatan perilaku. Sebuah artikel New York Times Magazine baru-baru ini menceritakan sebuah perusahaan baru yang mempekerjakan orang dewasa dengan autisme yang berfungsi tinggi, utk memanfaatkan kemampuan memori yang luar biasa dan perhatian terhadap detail.
Saya tidak ingin terdengar seperti Pollyanna (terlalu optimis) dlm masalah skizofrenia; penyakit jiwa menyebabkan keterbatasan yg nyata, dan penting untuk tidak meromantiskannya. Kita tidak bisa menjadi pemenang Nobel seperti John Nash dari film “A Beautiful Mind.” Namun, benih pemikiran kreatif kadang-kadang dapat ditemukan dalam penyakit jiwa, dan orang-orang meremehkan kekuatan otak manusia untuk beradaptasi dan berkreasi.
Pendekatan yang mencari kekuatan seseorang, selain mempertimbangkan gejala, dapat membantu menghilangkan pesimisme seputar penyakit jiwa. Menemukan "kesehatan dalam penyakit," seperti kata satu orang dengan skizofrenia, harus menjadi tujuan terapeutik. Dokter harus mendesak pasien untuk mengembangkan hubungan dan terlibat dalam pekerjaan yang berarti. Dia harus mendorong pasien untuk menemukan berbagai tekniknya sendiri untuk mengendalikan gejala mereka dan bertujuan mencapai kualitas kehidupan yg diinginkan pasien. Dan mereka harus memberi pasien sumber daya -- terapi, pengobatan dan dukungan -- untuk mewujudkannya.
"Setiap orang memiliki bakat unik atau diri unik untuk dibawa ke dunia," kata salah satu peserta studi kami. Dia mengungkapkan kenyataan bahwa mereka yang memiliki skizofrenia dan penyakit jiwa lainnya menginginkan apa yang diinginkan semua orang: dalam kata-kata Sigmund Freud, kerja dan cinta.
** Elyn R. Saks adalah
seorang profesor hukum di University of Southern California dan penulis memoar "The Center cannot Hold: Perjalananku Melalui Kegilaan."
https://mobile.nytimes.com/2013/01/27/opinion/sunday/schizophrenic-not-stupid.html