Friday, April 14, 2017

Good read - Jan Koum, tkg sapu jadi milyarder

Jan Koum CEO WhatsApp,
dari tukang sapu jadi miliarder.

Pada 1992,Jan Koum berusia 16 tahun tiba di Mountain View, Amerika Serikat. Didampingi oleh ibunya, Koum adalah imigran yg memutuskan pindah dari Kiev,Ukraina,dg mimpi meraih kehidupan yg lebih baik.

Di AS,mereka mengalami masa2 sulit. Keluarga Koum tinggal diapartemen kecil hasil bantuan pemerintah. Mereka terpaksa bergantung pada jaminan sosial n mengantre kupon makanan karena tak punya uang.

Koum pun bekerja sebagai tukang sapu di sebuah toko untuk memenuhi kebutuhan hidup,sementara ibunya mengambil profesi baru sebagai baby sitter.

Di Amerika n mulai bersekolah disana, keluarga Koum adalah satu-2nya dikelas yg gak memiliki mobil. Jadilah Koum terpaksa bangun lebih pagi untuk mengejar bus.

Koum kemudian masuk kuliah,mempelajari ilmu komputer n matematika,tetapi gak sampai selesai. "Prestasi saya buruk, ditambah lagi dg rasa bosan."

Maka,diapun memutuskan drop out, lalu mulai bekerja sebagai pembungkus barang belanjaan di supermarket,setelah itu ditoko elektronik, internet provider, hingga perusahaan audit.

Sampai kemudian pada 1997 Koum bertemu dg Brian Acton dari Yahoo. 6 Bulan setelahnya, Koum mulai bekerja di Yahoo.

Koum menjalin persahabatan dg Acton,yg banyak membantu Koum ketika sempat hidup sebatang kara setelah ibunya meninggal pada tahun 2000.
Sang ayah yg masih di Ukraina telah lebih dulu wafat pada 1997.
"Dia (Acton) sering mengajak saya ke rumahnya," tutur Koum.

Menghabiskan 9 tahun bekerja di Yahoo, Koum merasa gak nyaman dg banyaknya iklan yg harus diurus n bertebaran di mana2.

Acton rupanya merasakan hal serupa. Koum n Acton kemudian memutuskan keluar dari Yahoo pada hari yg sama,yaitu 31 Oktober 2007.

Koum ketika itu berusia 31 tahun dan telah mengumpulkan uang untuk memulai bisnisnya sendiri.Dia bertekad bahwa bisnisnya ini tak akan direcoki oleh iklan yg mengganggu.

Koum n Acton pisah jalan,tetapi masih sering bertemu untuk mendiskusikan rencana bisnis.Keduanya sempat mencoba melamar di Facebook n sama2 ditolak.

Pada 2009,setelah membeli sebuah iPhone,Koum mendapat ide untuk membuat aplikasi yg bisa menampilkan update status seseorang didaftar kontak ponsel, misalnya ketika hampir kehabisan baterai ato sedang sibuk.

Nama yg muncul di benak Koum adalah "WhatsApp", karena terdengar mirip dg kalimat "What's up", yg biasa dipakai untuk menanyakan kabar.

Pada tgl 24 Februari 2009,dia mendirikan perusahaan "WhatsApp Inc" di California.

WhatsApp versi pertama benar2 dipakai sekadar untuk update status diponsel. Pemakainya kebanyakan hanya teman-2 Koum dari Rusia.

"Lalu,pada suatu ketika,ia berubah fungsi jadi aplikasi pesan instan.Kami mulai memakainya untuk menanyakan kabar masing2 n menjawabnya."

Koum pun tersadar bahwa dia secara tak sengaja telah menciptakan layanan pengiriman pesan.

"Bisa berkirim pesan ke orang dibelahan dunia lain secara instan,dg perangkat yg selalu Anda bawa, adalah hal yg luar biasa," kata Koum.

Ketika itu,satu2nya layanan messaging gratis lain yg tersedia adalah "BlackBerry Messenger."

Namun,aplikasi ini hanya bisa digunakan diponsel Black Berry. Google G-Talk n Skype juga ada,tetapi WhatsApp menawarkan keunikan tersendiri.

Jumlah pengguna aktifnya langsung melonjak jadi 250.000 orang.
Dia kemudian menemui Acton yg masih menganggur. Acton bergabung dg WhatsApp n membantu mencarikan modal dari teman2 ex Yahoo.

Kini,WhatsApp telah menjelma jadi layanan pesan instan terbesar dg jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 450 juta.Setiap hari, sebanyak 18 miliar pesan dikirim melalui jaringannya. Semua itu ditangani dg jumlah karyawan hanya 50 orang saja.

Kini,WhatsApp telah dibeli Facebook dg nilai 19 miliar USD (sekitar Rp 223 triliun). Kekayaan Koum yg memiliki 45 % saham WhatsApp diperkirakan melonjak jadi 6,8 miliar USD.

Kendati demikian,dia tak melupakan masa lalu.Koum menandatangani perjanjian bernilai triliunan rupiah dg Facebook itu didepan bekas kantor Dinas Sosial North County, Mountain View,tempat dia dulu mengantri kupon makanan ber sama2 warga kurang mampu lainnya.

Ia menyandarkan kepalanya kedinding tempat ia dulu antri. Mengenang saat bahkan untuk makan ia gak punya uang.

Pelan2 air matanya meleleh n lalu jatuh.Ia tak pernah menyangka perusahaannya dibeli oleh Facebook (perusahaan yg pernah menolak lamaran kerjanya) dg harga Rp 223 triliun!

Ia lalu terkenang ibunya yg sudah meninggal (karena kanker).Ibunya yg rela menjahit baju agar dia  menghemat.

“Tak ada uang nak", ia teringat kalimat ibunya.

“Di tempat ini,nasib hidup saya pernah dipertaruhkan”,begitu Jan Koum berbisik dalam hati.

Remaja miskin yg dahulu hanya makan dari jatah yg diberikan pemerintah itu kini menjadi salah satu miliarder didunia.

Sohibku,
cerita hidup Jan Koum akan berbeda sekali kalo umpamanya waktu itu dia n Acton diterima bekerja di Facebook.Justru ketika Koum tidak diterima Facebook,dia membuat  WA yg kita pakai ini.

Ini namanya "Blessing in disguise,UNTUNG dibalik peristiwa BUNTUNG."

Good read - Pada dasarnya dia mungkin orang baik.

Pagi bahagia. Pagi penuh senyum ceria dgn rasa syukur dan berkah.

Menaklukkan Diri Sendiri...

Di meja resepsionis sebuah hotel, pegawai hotel sedang sibuk mendaftar tamu 2x baru. Salah seorang tamu memberikan namanya kepada pegawai muda di belakang meja dengan nada memerintah. Pegawai itu berkata, : "Ya Bapak, kami sediakan 1 kamar 'single' untuk Anda"
"Single...?" bentak  orang itu, "Saya memesan double"

Pegawai tersebut berkata dengan sopan, : "Coba saya periksa sebentar."
Dia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip & berkata, : "Maaf Bapak, pesanan Anda menyebutkan 'single'.

Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar 'double', kalau memang ada. Tetapi semua kamar 'double' sudah penuh."
Tamu yg berang itu berkata, "Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double"

Kemudian, dia mulai bersikap. "ANDA TAHU SIAPA SAYA,"..... . "Saya akan usahakan agar kamu dipecat. Lihat saja nanti. Saya akan buat kamu dipecat"

Di bawah serangan gencar perkataan yg menyakitkan, pegawai muda itu menyela, : "Bapak, kami menyesal sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda"

Akhirnya, sang tamu yg benar 2x marah itu berkata, : "Saya tidak akan mau tinggal di kamar yg terbagus di hotel ini sekarang ! manajemennya benar 2x buruk !" & dia pun keluar dengan langkah cepat.

Tamu berikutnya yg menghampiri meja resepsionis berpikir,  pegawai itu pasti marah, setelah baru saja dimarahi habis 2x an.
Namun ternyata sebaliknya, dia menyambut dengan salam ramah : "Selamat malam, Bapak"

Ketika dia mengatur kamar untuk tamu itu,  tamu itu berkata, : "Saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar 2x sabar"

"Ya Bapak" katanya, "Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu.
Anda lihat, dia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya.

Orang yg malang tadi, mungkin baru saja ribut dengan istri, atau bisnisnya lesu, atau barangkali dia merasa rendah diri, dan ini adalah peluang emas untuk melampiaskan kekesalannya"

Pegawai tadi menambahkan, : "Pada dasarnya, dia mungkin orang yg sangat baik. Kebanyakan orang begitu"

Pegawai (& juga tamu) hotel tersebut bisa siapa saja, mungkin  saya, mungkin pula Anda.
                           
Saat ada orang yg menyatakan 'perang' , sebaiknya kita ingat akan 2 kalimat.
Tidak usah membalas & lupakanlah, tidak perlu mengingat 2x perkataannya.
Dengan demikian kita telah menjadi pemenang yg berhasil mengalahkan diri sendiri...

Wednesday, April 12, 2017

Salah ketik sering kali tidak berpengaruh. Urutan huruf.

Untuk yg sering ngetik salah
Ga usah dikoreksi

Prcaya aatu tidvk, Murenut sautu pelneitiahn di Uinervtisas Jembre, utruan hruuf dlaam ktaa tiadk penitng. Ckuup huurf petrama dan trekahhir ynag ada pdaa tepmatyna.
Katlimt bsia dtiluis berantaakn, teatp ktia daapt mebmacayna.
Ini dsieabbkan kaerna oatk ktia tdiak mebmcaa huurf per hruuf, buukn ktaa per ktaa. Laur bisaa kan?
"slaam unutk kleuraga... seaht slealu...ttpatp snmgaat "
Sdaar aatu ngagk adna brau sjaa mambcea dgnaen tiluasn ynag braentakan.
Inlaih khebeatan oatk mansuia, alpagi ynag mctipakn oatk ktia, Tuhan yang Maha Sempurna.

Bagi yg bisa membaca ini, berarti otak kanan dan kirinya masih berfungsi baik ....

_*Yuk share ajak teman anda utk ikut membaca*_

Sunday, April 9, 2017

Good read - Smiling. Tersenyum. Tugas dr dosen

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya.
Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi.
Tugas terakhir dosen yang  diberikan kepada siswanya diberi nama *"Smiling"*

Seluruh siswa diminta untuk memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka.

Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas.
Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.....

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami san anak bungsu saya yang menunggu di taman kampus, lalu pergi ke restoran Mc Donald yg berada di kampus.

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...
Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya minta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk dan saya ikut antrian.

Ketika saya sedang dalam antrian, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Perasaan panik menguasai diri saya, ketika melihat mengapa mereka semua  menyingkir ?

Saat berbalik, saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil.
Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya.

Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.

Ia menyapa "Good day !" sambil tetap tersenyum. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya.

Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya.

Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.

Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona."

Ternyata dari koin yang dia pegang hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka. (Aturan di restoran di Jerman, jika ingin duduk di dalam restoran dan  menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yg terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.

Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan ?

Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya.

Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat.

Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, TUHAN juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata :
*"Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku !"*

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap *"Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."*

Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Allah itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya.

Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain ?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi.

Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.

*"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.*

Dengan caraNYA sendiri, TUHAN telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di sekitar suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.

Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu:

*"PENERIMAAN TANPA SYARAT."*

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara :

*Mencintai Sesama Dengan Memanfaatkan Sedikit Harta Benda Yang Kita Miliki, Dan Bukannya Mencintai Harta Benda Yang Bukan Milik Kita, Dengan Memanfaatkan Sesama.*


Saturday, April 8, 2017

Good read - Dua orang yg baik, tapi mengapa perkawinan tidak bahagia

*Dua Orang Baik tapi Mengapa Perkawinan Tidak Bahagia?*

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga.
Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang baik.

Setelah itu, masih harus memasak nasi untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan...

Setiap sore, ibu selalu menyikat panci supaya tidak ada noda sedikitpun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu.

Ibu adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan yang baik. Tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tidak memahaminya...

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu dan saat libur ayah punya waktu untuk mengantar kami ke sekolah. Ia seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran.

Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata anak-anak, ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibu, ia bukan pasangan yang baik. Kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam.

Saya melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Seharusnya mereka layak mendapat perkawinan yang baik. Saya bertanya pada diri sendiri, *"Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?"*

Setelah dewasa, akhirnya saya memasuki perkawinan dan perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu...

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dengan sungguh2 berusaha memelihara perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin rumah kurang bersih, masakan tidak enak, lalu dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah, suami saya berkata, "temani aku sejenak mendengar alunan musik!"

Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul...

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah yang tidak mendapat apa yang dia butuhkan dalam perkawinannya.

Waktu ibu habis untuk membersihkan rumah pada hal yg dibutuhkan ayah adalah menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan. Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih namun ibu jarang menemani ayah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya.

*KESADARAN MEMBUAT SAYA MEMBUAT KEPUTUSAN YANG SAMA.*

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku, "Apa yang kau butuhkan?"

"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku... Rumah kotor sedikit tidak apa-apa.." ujar suamiku.

Saya kira dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasak, dst.

"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku."

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara yang diinginkan pasangan kita.

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja. Begitu juga suamiku, dia menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas. Misal: Waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk setiap pagi, memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat, dstnya.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit. Misal: "dengarkan aku, jangan memberi komentar". Ini adalah kebutuhan suami.

Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengan serius...

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami...

Bertanya pada pasangan kita, *"Apa yang kau inginkan?" ternyata dapat menghidupkan pernikahan.*

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu tidak bisa bahagia, *MEREKA TERLALU BERSIKERAS MENGGUNAKAN CARA SENDIRI DALAM MENCINTAI PASANGANNYA, BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN CARA YANG DIINGINKAN PASANGANNYA.*

Kita mungkin sangat lelah melayani pasangan kita, namun dia tidak menghargai... Akhirnya kita kecewa dan hancur.

*SETIAP ORANG PANTAS DAN LAYAK MEMILIKI SEBUAH PERKAWINAN YANG BAHAGIA*, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kitađź’–

Good read - Ibu, anak, menantu. Saat memegang dan melepas utk mandiri.

Seorang Ibu Merawat Keluarga Anaknya "Sekuat Tenaga", Namun "Satu Kalimat" Menantunya, Membuat Dia Mengakhiri Semuanya!

Hubungan antara orang tua dan anak, memang bukan hubungan "memiliki" selamanya, tapi justru hubungan keeratan hati. Sebagai orang tua, seringkali perlu kebesaran hati dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan anak. Bukan cuman membesarkan anak, kadangkala dalam hidup ini ada banyak hal yang perlu mengerti apa itu namanya tarik ulur. Aku mau bercerita tentang pengorbananku yang ternyata malah berakhir seperti ini.

Aku adalah seorang mama berusia 57 tahun, aku sudah pensiun 2 tahun terakhir ini. Anakku laki-laki dan berusia 31 tahun. Tepat di tahun aku pensiun, anakku menikah, aku memang sangat sayang dan memanjakan anakku sejak kecil.

Sejak ia menikah, aku tentunya mulai bertanggung jawab untuk merawat anakku serta menantuku. Aku sudah menganggap hal ini sebagai hal yang memang seharusnya. Awalnya aku pikir anakku mau tinggal denganku setelah menikah, tapi dia dan istrinya mengatakan kalau mereka pasangan muda dan butuh ruang gerak, akhirnya aku pun melepaskannya.

Tapi supaya dekat dan mudah menjaga mereka, aku dan suamiku kemudian pindah ke komplek tempat mereka tinggal. Setiap pagi aku akan pergi ke rumah anakku dan membantu mereka membuat sarapan dan membersihkan rumah. Setiap malam aku juga akan membantu mereka memasak dan menunggu mereka sampai mau tidur, aku baru pulang ke rumah.

Sampai suatu hari, aku masih melakukan hal yang sama setiap harinya, membawa sayur pulang dari pasar dan pergi ke rumah anakku, tapi hari itu aku tidak bisa membuka pintu rumah anakku. Bukan karena aku salah membawa kunci, tapi ternyata menantuku mengganti kunci rumahnya. Dia bilang, "Di komplek ini banyak pencuri, jadi…."

Hari itu, aku juga sama seperti biasanya, aku memasak sarapan untuk mereka, kemudian membersihkan rumah dan mencuci baju. Tapi, menantuku tidak memberikan kunci yang baru padaku, aku pikir mungkin dia lupa. Sampai malam harinya, anakku pulang, dia memberikanku kunci baru dengan tambahan, "Ma, jangan biarkan istriku tahu.."

Aku tahu hal ini tidak sesederhana kelihatannya. Keesokkan harinya, aku masih melakukan hal yang sama, pergi ke rumah anakku. Tapi sesampainya aku di depan rumah mereka, aku mendengar pertengkaran dari dalam rumah. "Kamu pasti kasih kunci ke mama kamu kan!"

"Siapa yang gak ngerasa risih, setiap mandi, taruh cucian di keranjang, besok paginya mama kamu pasti cuciin. Ngeliat semua pakaian dalam di jemuran, aku sama sekali gak senang karena dibantu, aku malah risih karena privasiku diganggu."
"Coba aja kamu liat, kamu terlalu dimanja mama kamu, setiap hari cuman tiduran di sofa, gak perlu ngapa-ngapain, gak pernah beres-beres, gak pernah buang sampah, kamu cuman gak disuapin aja, kalau nggak, kamu persis kayak anak-anak."
"Apa mama kamu gak bisa kayak mama orang lain, di masa tuanya menikmati hidupnya, pergi jalan-jalan atau liburan, atau pergi dengan teman-temannya menikmati teh sore, jangan terus kayak kamera yang merekam semua kegiatan kita."

Siapa sangka, ternyata aku mendengar semua itu dari mulut menantuku, ternyata inilah balasan dari "pengabdian 24 jam" aku. Tapi dari semuanya itu, yang paling membuatku sedih, justru jawaban dari anakku, "Dia itu mamaku, kamu mau aku gimana lagi?"

Aku selalu menyiapkan kedua tanganku untuk mereka, tapi ternyata, di mata menantuku, aku justru adalah seorang mama yang tidak mengerti keadaan,Sepulang dari rumah anakku hari itu, aku menangis di depan suamiku dan menceritakan semuanya, "Dia itu anak aku satu-satunya, keinginan terbesarku adalah menjaga mereka dan berkorban bagi mereka, tapi aku malah dinilai seperti itu."

Suamiku cuman menjawab, "Ini pasti salah paham aja, nanti aku coba ngomong sama mereka."

Tapi kemudian, suamiku berkata padaku, "Coba kamu liat temen-temen kamu, semua pada pergi berlibur, bahkan ada yang keliling dunia. Kamu juga orang yang suka berpetualang, tapi demi mereka, kamu malah jadi ibu rumahan yang ketinggalan jaman. Coba kamu pikirin.."

Kalimat dari suamiku ini, membuat aku berpikir sangat lama, setiap katanya menusuk sampai ke hatiku. Apa aku memang gak pengen pergi jalan-jalan?

Akhirnya aku langsung mengajak suamiku pergi ke sebuah taman besar. Di sana ada beberapa ekor kambing, aku dan suamiku masih sempat melihat induk kambing melahirkan anaknya. Melihat kedekatan induk dan anak, aku juga ingat dulu, aku dan anakku begitu dekat.

"Kalau induk kambing itu kayak kamu juga, gak berani melepaskan anaknya, dan selalu nempel terus sama anaknya, kambing kecil itu mana mungkin bisa hidup? Apalagi, siapa sih orang yang mau menikahi pria yang masih nempel terus sama mamanya? Kayak anak yang masih disusuin terus.." Suamiku tiba-tiba mengatakan hal ini. Sangat jelas, dia ingin aku mengerti sesuatu. Kemudian suamiku menambahkan, "Cinta seorang ibu yang sebenarnya, justru adalah momen dimana dia berani mundur dan melepaskan."
"Ibu yang tidak berani melepaskan anaknya dan mengira itu adalah cinta, justru mengambil seluruh kontrol dari kehidupan anaknya dan membuat anaknya tidak dewasa…"

Dalam hatiku aku berpikir, apakah aku benar-benar seorang mama yang seperti ini? Suamiku hanya tersenyum, kemudian dia membawaku pergi berlibur selama seminggu, aku dan suamiku banyak berfoto sebagai kenang-kenangan, dia bahkan mengajari aku bagaimana main instagram dan memosting foto kami berdua.

Kemudian, sepulang dari sana, aku menelepon anakku, aku bilang aku mau berkunjung ke rumahnya. Anakku jelas kaget, "Ma, bukannya mama punya kunci, datang aja langsung" Aku cuman tertawa, sampai malam itu, aku dan suamiku pergi ke rumah anakku. Aku bercerita tentang perjalanan liburan kami. Kemudian aku masih bercanda, "Kami berencana masih mau pergi liburan, kalian mau nyumbang gak? Hahaha"

Siapa sangka menantuku langsung menjawab, "Ma, mama boleh pergi beli tas baru kesukaan mama, aku transfer sekarang yah ma.."

Malam itu, aku sangat bahagia. Sebelum pulang, aku mengeluarkan kunci rumah anakku dan memberikannya pada mereka, "Mama nanti gak bisa sering datang, walaupun mau datang, mama pasti telepon dulu."

Anakku kebingungan, "Ma, kenapa mam?" Aku hanya menjawab, "Mama gak marah, mama cuman belajar mundur." Aku kemudian memeluk anakku, air mataku pun mulai menetes. Itulah pertama kali aku mengucapkan perpisahan dengan anakku. Selanjutnya, aku benar-benar melakukan banyak perjalanan berdua dengan suamiku. Kami berdua sudah pensiun, kalau tidak pergi jalan-jalan, kami bisa apa.. Anakku suka telepon dan bertanya dimana kami. Aku cuman membalasnya dengan mengirimkan fotoku dan suamiku. Siapa sangka fotoku ini kemudian dibagikan oleh menantuku ke teman-temannya.

Banyak orang bertanya, mengapa harus mempunyai anak? Menghasilkan keturunan atau mencari orang yang merawat di masa tua? Lalu ada orang yang menjawab dengan jawaban yang mengharukan, "Untuk berkorban dan menikmati."

Setiap orang tua pasti menjadikan anak mereka satu-satunya, demi anak, mereka rela mengorbankan apapun, bahkan mengorbankan kebahagiaan diri sendiri. Namun yang lebih penting, apa yang didapat oleh anak-anak dari didikan orang tua?

Kalau ditanya, apa teladan paling baik yang bisa diberikan orang tua? Kebahagiaan terbesar yang bisa diberikan orang tua untuk anak-anak adalah suami istri yang rukun dan saling mencintai. Karena kebahagiaan orang tua, pekerjaan orang tua, bahkan posisi sosial orang tua adalah hal-hal yang dipelajari oleh anak-anak.

Kita tidak boleh membiarkan anak-anak kurang kasih sayang di masa kecil, juga tidak boleh membiarkan anak-anak kurang mandiri setelah dewasa.

Tuesday, April 4, 2017

Pikun

Sumber : Shirley Theresia

Tercenung membaca tulisan Bu S. Mara Gd ini.

"Sekadar sharing:
Orang yang mulai memasuki tahap pikun, perangainya berubah drastis. Waktu Mama pada tahap itu, perangainya minta ampun ajaibnya dan sangat menguji kesabaran.
Pada saat itu Mama belum ada gejala pikun. Masih bisa baca koran, diajak bicara jawabannya masih normal, segala sepertinya masih ingat.
Tapi perangainya berubah, di antaranya selalu mencari kesalahan orang di sekitarnya.
Segala yang dilakukan orang lain tidak ada yang bener, pasti dikritik ini salah, itu salah. Misalnya, aku lagi masak, lalu Mama muncul di dapur, dari jarak 3 meter dia tanya, "Masak apa?" Dan setelah aku jawab, Mama akan bilang, "Pasti tidak kamu kasi gula!" (atau garam, atau apalah pokoknya). Kan menjengkelkan toh, lha wong dari jarak 3 meter, belum dicoba, kok tau tidak dikasi gula atau garam ato apa. Tapi begitulah.
Belakangan aku baru mengerti bahwa Mama berbuat itu untuk membuktikan kepada dirinya sendiri dan orang lain, bahwa dia masih yang paling benar, yang paling pandai, yang paling tahu.
Keanehan lain, Mama selalu merasa orang lain membicarakan dia. Asal lihat orang lain berbicara, Mama bilang, "Ngrasani aku apa?" Jadi paranoid. Selalu curiga orang ngerasani dia.
Yang ketiga, selalu merasa orang lain mencuri barangnya. Selalu menuduh orang lain mengambil barangnya. Dari duit, sampe makanan sampe pakaian, sampe kunci, dah apa saja, pasti barangnya dicuri orang.
Yang keempat suka mengarang cerita bohong. Tidak ada peristiwa itu tapi bisa mengarang seolah-olah terjadi sungguh-sungguh. Dalam hal ini ceritanya selalu orang lain berbuat jahat kepadanya, merasa dizolimi gitulah istilahnya.
Yang kelima, selalu memberontak. Orang ngomong kiri, dia malah sengaja ke kanan. Pokoknya sama sekali tidak mau dibantu, tidak mau diatur, tidak mau nurut sama sekali. Supaya dia mau pake pampers aja, harus bertengkar dulu, karena ga mau.
Proses ini pada Mama terjadi sekitar 10 tahun. Dari mulai pikunnya tidak kentara, hingga akhirnya masuk ke kategori pikun. Setelah masuk ke tahap pikun, perangainya berubah 180 derajat, Mama menjadi seperti anak manis, 100% menurut, dan hepi selalu tertawa. Sudah lenyap segala sifat antiknya.
Mengapa aku berbagi pengalaman ini?
Banyak anak tidak mengerti bahwa sebelum kita melihat gejala pikun itu pada orangtua kita yang lansia, mereka sendiri sudah merasa ada penurunan kemampuan, dan mereka berusaha memeranginya, tidak mengakuinya, menutupinya, supaya orang lain tidak tahu. Karena itulah perangai mereka berubah. Mereka mau selalu dianggap benar, selalu dianggap bisa, selalu dianggap tahu segala.
Itu adalah respons yang alami terutama pada orang-orang lansia yang tadinya sangat kapabel dalam segala hal. Pada lansia yang tadinya tidak terlalu kapabel, perubahan perangai itu tidak terlalu parah.
Jadi bila kita menghadapi lansia yang menurut kita masih "normal" tapi perangainya berubah ajaib, kita harus sadar bahwa lansia itu sudah akan pikun.
Ini supaya kita tidak stress menghadapinya, dan kita bisa menyusun kiat untuk mengatasinya.
Fase ini akan lewat setelah lansia itu benar-benar masuk tahap pikun.
Yang sabar aja selama tahun-tahun transisi itu.
Mereka tidak bermaksud menyulitkan hidup anak-anaknya, itu adalah sesuatu yang tidak bisa mereka perangi.
Jangan dimusuhi, jangan dijahati, jangan dicuekin wlp ini merupakan ujian kesabaran bagi kita.
Jaga aja kesehatan mereka, dampingi mereka, rawat mereka baik-baik supaya panjang umurnya dan bila nanti orangtua kita benar-benar pikun, kita punya kehormatan untuk merawat mereka seperti merawat anak balita kita. Saat itulah kita bisa membalas sedikiiiiit budi baik mereka yang telah membesarkan kita."